
Rukyat berasal dari bahasa Arab ” ra’a – yara – rukyat ” yang artinya “melihat”. Hilal juga berasal dari bahasa Arab “al-hilal – ahillah” yaitu bulan sabit pertama (crescent) yang terlihat setelah terjadinya ijtimak. Ijtimak adalah bulan baru (new moon) disebut juga konjungsi atau bulan mati yaitu saat posisi Bulan dan Matahari berada pada jarak paling dekat saat itu. Secara astronomis, saat ijtimak terjadi maka bujur ekliptika Bulan sama dengan bujur ekliptika Matahari seperti terlihat oleh pengamat dari pusat Bumi (Geosentris).
Pada waktu tertentu peristiwa ijtimak juga ditandai dengan terjadinya Gerhana Matahari yaitu saat lintang ekliptika Bulan berimpit atau mendekati lintang ekliptika Matahari. Periode dari ijtimak ke ijtimak berikutnya disebut “Periode Sinodik Bulan” yang lamanya rata-rata sebesar 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik.
Hilal yang terlihat di langit Barat beberapa saat setelah Matahari terbenam.
Sehingga secara teknis yang disebut Rukyatul Hilal adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok pengamat untuk dapat menyaksikan kenampakan hilal sebagai pertanda dimulainya awal bulan baru Hijriyah. Rukyatul hilal biasa dilakukan sore hari setelah Matahari terbenam pada setiap menjelang awal bulan baru Hijriyah.
Jumhur ulama sependapat bahwa alat bantu rukyat seperti teropong atau teleskop dan alat pelacak posisi Hilal boleh digunakan. Bahkan pencitraan baik dalam bentuk foto maupun video dapat digunakan sebagai bukti keberhasilan rukyat. Sebagian ulama berpendapat lain bahwa rukyat harus menggunakan mata telanjang. Dalam konteks mayoritas masyarakat muslim dunia, terlihatnya hilal di sebuah negeri bisa dijadikan sebagai pertanda pergantian bulan kalender Hijriyah di negeri tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“ Dia singsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) Matahari dan Bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”. (QS . Al An’am: 96)
” Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (ibadat) haji” ( QS. Al Baqarah: 189 )
Hilal juga dijadikan pertanda mulainya ibadah puasa Ramadhan yang sudah dipakai sejak jaman nabi waktu itu, sebagaimana hadits yang menyatakan :
“Berpuasalah engkau karena melihat hilal dan berbukalah engkau karena melihat hilal. Bila hilal tetutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan Syaban tiga puluh hari” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya satu bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya (hilal). Dan jika hilal itu tertutup awan atau mendung dari (penglihatan) kalian, maka perkirakanlah ia.” (HR Bukhari).
Jika merujuk pada hadits tersebut, hilal dapat diterjemahkan juga sebagai Bulan sabit yang pertama terlihat setelah ijtimak terjadi. Sejarah juga mencatat bahwa penentuan awal bulan menggunakan kenampakan hilal telah dilakukan oleh masyarakat Arab waktu itu secara turun temurun baik untuk keperluan ibadah maupun sosial bahkan sebelum Islam datang.
Keserasian antara Hisab dan Rukyat
Dalam pandangan masyarakat kita, hisab dan rukyat merupakan dua metode yang saling bertolak belakang. Padahal dari sudut pandang astronomis, hisab dan rukyat adalah bagaikan dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ilmu Hisab dapat diterjemahkan sebagai sebuah metode atau sistem perhitungan yang diperoleh dari penalaran analitik maupun pengamatan empirik selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Sedangkan rukyat dapat diterjemahkan sebagai sebuah pengamatan sistematik yang didasarkan atas data dari fenomena astronomis yang ada.
Hisab bukanlah sebuah metode yang muncul secara tiba-tiba. Sebab adanya hisab diawali dari rukyat yang panjang. Benar tidaknya sebuah metode hisab tentunya harus diuji secara langsung melalui pengamatan (rukyat) terhadap fenomena alam yang dihisab. Sebagus dan sebaik apa pun klaim terhadap sebuah metode hisab, jika tidak sesuai dengan fenomena yang dihisab tentu tidak dapat dikatakan benar apalagi akurat.
Demikian juga halnya dengan rukyat. Pelaksanaan rukyat yang tidak pernah menghasilkan sebuah sistem atau metode perhitungan (hisab) yang dapat membantu dalam pelaksanaan rukyat berikutnya merupakan rukyat yang sia-sia. Karena, apa yang dilakukan hari ini tidak lebih baik daripada apa yang pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, kombinasi hisab dan rukyat merupakan kombinasi harmonis agar ilmu falak di Indonesia dapat berkembang dengan pesat. Sesuai dengan asalnya, ilmu falak yang tidak lain merupakan bagian dari astronomi modern saat ini merupakan observational sains.
Sebuah observational sains merupakan sains yang berkembang atas dasar pengamatan. Dengan kata lain, menafikan rukyat yang notabene merupakan proses pengamatan bagaikan menghilangkan ruh dari jasad. Hal ini bahkan dapat mengakibatkan ilmu falak menjadi sesuatu yang tidak menarik dan sulit untuk dipahami.
Kecenderungan itu dapat dilihat dari pandangan kaum santri di pesantren, yang menyatakan bahwa ilmu falak merupakan ilmu yang sulit dipahami dan tidak menarik. Hal ini bisa diakibatkan karena kegiatan observasi atau rukyat jarang dilakukan atau bahkan tidak pernah dipraktikkan kecuali ketika menjelang awal dan akhir Ramadhan. Sementara ada juga yang lebih cenderung percaya kepada rumus-rumus dan teori perhitungan yang notabene juga merupakan produk bangsa lain tanpa pernah melakukan uji lapangan atas hasil perhitungannya. Ini juga salah satu yang membuat Ilmu Falak tidak menarik karena tidak diimbangi dengan praktek lapangan.
Oleh sebab itulah Hisab dan Rukyat tidak bisa dilaksanakan secara terpisah. Hisab dan rukyat adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. “Theoria sine praxi est currus sine axi das Praxi sine theoria est axi sine currus” Teori tanpa praktek adalah kereta tanpa roda dan praktek tanpa teori adalah roda tanpa kereta. Hisab dan rukyat seharusnya dapat berjalan secara harmonis berdampingan. Ini yang belum difahami oleh sebagian besar masyarakat kita sehingga memunculkan perbedaan-perbedaan pandangan.
Mengenal Fase Bulan
Fase bulan adalah bentuk Bulan yang selalu berubah-ubah jika dilihat dari Bumi. Fase Bulan itu tergantung pada kedudukan Bulan terhadap Matahari dilihat dari Bumi. Fase bulan disebut juga aspek bulan. Aspek bulan yang mudah dilihat sebagai berikut :
Konjungsi yaitu kedudukan bulan searah dengan Matahari. Pada saat itu bagian Bulan yang menghadap bumi adalah bagian yang malam (gelap). Oposisi yaitu kedudukan bulan berlawanan arah dengan matahari dilihat dari bumi. Pada saat itu bulan tampak sebagai bulan purnama. Pada kedudukan ini bulan terbit pada saat matahari terbenam dan terbenam pada saat matahari terbit.
Kuarter yaitu pada saat kedudukan bulan tegak lurus terhadap garis penghubungg bumi – matahari. Pada aspek kuarter, bulan memperlihatkan fase perbani (setengah bulan yang terang). Dalam sebulan terjadi dua kali kuarter yaitu kuarter pertama ketika bulan tampak bertambah besar dan kuarter kedua ketika bulan tampak kecil.
Fase bulan yang lain adalah sabit (crescent) dan benjol (gibbous) dengan demikian, dalam satu bulan sinodik, berturut-turut berlangsung pergantian fase sebagai berikut : bulan baru-sabit – perbani awal – benjol – purnama- perbani – akhir – sabit – bulan baru lagi.
Fenomena perubahan fase bulan digambarkan dalam Al Quran Surat Yasin:39.”Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”. Yang dimaksud dengan ‘urjun al-qadim adalah bentuk bulan tua (waning crescent).
Hilal
Secara astronomis hilal merupakan fenomena terlihatnya sabit Bulan saat Matahari terbenam, yang dilihat dari Bumi setelah ijtimak atau konjungsi. Perbedaan tempat dan waktu di Bumi mempengaruhi kenampakan hilal tersebut. Cahaya hilal sangat redup dibandingkan dengan cahaya Matahari atau bahkan cahaya mega senja. Dengan demikian hilal ini baru dapat diamati beberapa saat setelah Matahari terbenam agar kontras antara cahaya Hilal dengan cahaya langit sebagai latar belakangnya cukup besar sehingga memungkinkan cahaya Hilal bisa terlihat.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kenampakan cahaya hilal. Hal ini menyangkut beberapa parameter yang berperan terhadap terlihatnya Hilal tersebut. Parameter tersebut diantaranya meliputi; (1) Faktor atmosfer terutama kondisi kecerahan langit Barat, (2) Faktor Kondisi Hilal meliputi; Ketinggian Hilal saat Matahari terbenam, Jarak sudut Hilal ke Matahari atau elongasi, Umur Hilal setelah Ijtimak/Konjungsi, Iluminasi / cahaya Hilal dan (3) Faktor manusia yaitu terkait kondisi pengamat serta (4) Alat bantu yang digunakan meliputi alat bantu visual dan penjejak posisi Hilal. Semua faktor tersebut adalah saling melengkapi dan bukan opsional.
Kecuali terjadi perubahan fase, obyek bulan dalam pergerakannya relatif terlihat oleh pengamat di Bumi adalah terbit di Timur dan terbenam di barat seperti halnya bintang dan Matahari. Namun demikian kecepatan sudut perubahan posisinya bulan berbeda dengan matahari dan bintang-bintang :
– Gerak Bulan (Lunar rate) ~ 0,241935 ° / menit
– Gerak Matahari (Solar rate) ~ 0,250000 ° / menit
– Gerak Bintang (Celestial rate) ~ 0,250696 / menit
Dari kecepatan gerak tersebut terlihat bahwa bintang bergerak lebih cepat 4 menit (1 °) setiap hari dibanding matahari dan bulan bergerak lebih lambat sekitar 49 menit (12,2 °) setiap setiap hari dibanding matahari. Kondisi inilah salah satunya yang menyebabkan terjadinya perubahan fase pada wajah bulan dan bervariasinya ketinggian bulan terhadap ufuk pada setiap awal bulan baru.
Teori Visibilitas Hilal
Seiring terkumpulnya ribuan data-data hasil rukyatul hilal yang dapat dipercaya (valid) maka para pakar astronomi berusaha membangun sebuah teori yang terkait dengan kemungkinan terlihatnya Hilal di sebuah tempat di permukaan Bumi yang disebut sebagai teori Visibilitas Hilal. Teori Visibilitas Hilal terbaru telah dibangun oleh para astronom dalam proyek pengamatan hilal global yang dikenal sebagai Islamic Crescent Observation Project (ICOP) berpusat di Yordania berdasar pada sekitar 700 lebih data observasi hilal yang dianggap valid. Teori ini menyatakan bahwa hilal hanya mungkin bisa dirukyat jika jarak sudut Bulan dan Matahari minimal 6,4° (sebelumnya 7°) yang dikenal sebagai “Limit Danjon”. Kurva Visibilitas Hilal sebagai hasil perhitungan teori tersebut mengindikasikan bahwa untuk wilayah sekitar Katulistiwa (Indonesia) hilal baru mungkin dapat dirukyat menggunakan mata telanjang minimal pada ketinggian di atas 6°. Di bawah itu hingga ketinggian di atas 4° diperlukan alat bantu penglihatan seperti teleskop dan sejenisnya.
Kecuali teori visibilitas hilal ICOP tersebut berkembang juga sebelumnya teori visibiltas berdasarkan kesepakatan maupun hasil penelitian, teori tersebut diantaranya :
1. Kriteria Babylonia menyatakan bahwa hilal baru bisa terlihat menggunakan mata telanjang jika memenuhi 2 kondisi yaitu umur hilal > 24 jam dan lama hilal di atas ufuk > 48 jam. Mengacu pada kriteria ini maka ketinggian Hilal minimum dapat dirukyat dengan mata telanjang adalah 12 derajat.
2. Kriteria imkan rukyat yang dipakai pemerintah Indonesia mengacu kepada kriteria penentuan awal bulan Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip bahwa awal bulan Hijriyah terjadi jika pada saat matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas ufuk minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak. Salah satu kelemahan teori visibilitas ini adalah bahwa kalangan astronom menolak angka-angka tersebut yang dinilai mustahil.
3. Pada tahun 1932 dan 1936 Andre Danjon, direktur Observatorium Starsbourg dari Prancis, melaporkan hasil pengamatan hilal di majalah astronomi. Dari 75 bukti pengamatan hilal yang dikumpulkan dari berbagai pengamat di seluruh Eropa diperoleh syarat batas penampakan hilal yang kini dikenal sebagai limit Danjon. Danjon dalam laporannya itu menganalisis hubungan jarak sudut (jarak di langit dalam ukuran sudut pandang — dinyatakan dalam derajat) Matahari-Bulan dan besarnya lengkungan sabit pada hilal. Dari 75 data itu diketahui bahwa makin dekat jarak sudut Matahari-Bulan, lengkungan sabit yang bisa teramati makin kecil. Data-data itu menunjukkan bahwa hilal tidak mungkin teramati bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat. Dengan limit itu, astronom akan menolak laporan pengamatan hilal dengan mata telanjang bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat. Bahkan menurut Bradley E. Schaefer dari USA pada tahun 1991 mengatakan bahwa dengan teleskop pun hilal tetap tidak mungkin teramati bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat.
4. Imkanur Ru’yah dengan kriteria (1) irtifa minimal 5 derajat, (2) sudut elongasi minimal 8 derajat. Kriteria ini ditetapkan sebagai kesepakatan Istambul oleh beberapa ahli hisab pada saat terjadinya konferensi kalender Islam di Turki pada tahun 1978.
5. Imkanur Ru’yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 5 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Derek McNally pada tahun 1983.
6. Imkanur Ru’yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 7.5 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Louay F. Fatoohi, F. Richard Stephenson & Shetha S. Al-Dargazelli pada tahun 1998. Kriteria ini dikenal dengan nama kriteria Fatoohi.
7. Mohammad Ilyas, seorang Muslim yang kini mengepalai International Islamic Calendar Program di Malaysia, telah mengumpulkan banyak bukti pengamatan di seluruh dunia untuk menentukan kriteria hilal agar bisa teramati. Secara ringkas, kriteria yang dihasilkan dari banyak data pengamatannya terbagi dalam tiga kelompok, tergantung aspek apa yang ditinjau. Dilihat dari ketinggian hilal di atas ufuk, tidak ada hilal yang teramati pada ketinggian kurang dari 4 derajat. Untuk hilal yang sangat dekat dengan Matahari (pada jarak mendatar sekitar 5 derajat) hilal harus lebih tinggi dari 10 derajat. Ditinjau dari umur hilal (selang waktu sejak saat ijtimak sampai saat pengamatan), tidak ada hilal yang lebih muda dari 16 jam, kecuali pada saat tertentu rekor termuda yang tercatat adalah 13,5 jam. Dan dilihat dari sudut pandang beda waktu terbenam antara Matahari dan Bulan, hilal tidak mungkin teramati bila beda waktu terbenamnya kurang dari 40 menit.
8. Kriteria Maunder (elongasi 11 derajat) , Fotheringham (elongasi 12 derajat)
9. Kriteria RHI mendasarkan pada hasil pengamatan hilal secara simultan oleh jaringan rukyat RHI setiap bulan selama 2007 sampai dengan 2011 dan menghasilkan kriteria “Hilal adalah bulan sabit pasca konjungsi dan memiliki syarat paramater 40 ³ Lag ³ 24 serta persamaan : aD ³ 0,099 dAz2 – 1,490 dAz + 10,382 “
10. Kriteria LAPAN menyatakan bahwa hilal bisa teramati jika jarak sudut Bulan-Matahari > 6,4o dan Beda tinggi Bulan-Matahari > 4o.
PERKEMBANGAN RUKYATUL HILAL DI INDONESIA
Rukyatul Hilal Tradisional
Penentuan awal bulan Hijriyah di Indonesia yang menggunakan basis rukyatul hilal sudah dimulai sejak Islam berkembang di Indonesia. Sesuai ketentuan syariat yang menyertainya, terkait penentuan hari untuk mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan serta penentuan awal Zulhijjah maka kegiatan rukyatul hilal ternyata sudah dilakukan oleh masyarakat Islam waktu itu walaupun baru menggunakan teknik yang sangat sederhana dan belum dipandu oleh hasil perhitungan astronomis (hisab).
Menjelang puasa Ramadahan tiba, masyarakat baik secara individu maupun berkelompok mereka akan menuju ke pantai atau menaiki bukit untuk dapat berupaya menyaksikan kenampakan hilal sebagai tanda dimulainya awal bulan walau hanya berbekal ‘mata telanjang’ tanpa bantuan alat sama sekali, apalagi data hisab.
Tekniknya memang sangat sederhana yaitu kiraq-kira sama dengan kegiatan rukyat yang dilakukan pada masa nabi dan sahabatnya. Hari rukyat biasanya dipilih pada tanggal 29 bulan yang sedang berjalan pada saat setelah Matahari terbenam sehingga jika rukyat gagal maka hari berikutnya merupakan hari ‘istikmal’. Istikmal adalah menggenapkan hari pada bulan berjalan sehingga berjumlah 30 hari. Jika tanggal berjalan belum diketahui karena bulan sebelumnya tidak melakukan rukyat maka kegiatan rukyat akan dilakukan 1 (satu) hari setelah bulan tua terakhir terlihat di langit Timur. Kegiatan rukyat seperti ini biasanya melibatkan sejumlah perukyat yang tidak sedikit dan biasanya diantara para perukyat terdapat seseorang yang dituakan dan dianggap menguasai ilmu rukyat. Banyak ahli rukyat waktu itu ternyata sudah memiliki lokasi tetap tempat rukyat baik berupa menara, pantai maupun bukit yang beberapa diantaranya tetap digunakan hingga sekarang.
Kegiatan rukyatul hilal secara tradisional seperti ini masih banyak dilakukan di Indonesia.
Rukyatul Hilal Berpandu Hisab
Catatan yang terdapat kitab-kitab falak yang berkembang di Indonesia pasca masuknya ilmu hisab perhitungan awal bulan tidak banyak menyinggung tentang rukyatul hilal apalagi menyangkut teknik dan instrumentasinya. Kegiatan rukyat tradisional yang hanya menggunakan mata telanjang dan tanpa panduan hisab mengalami perkembangan ketika banyak ulama yang mulai mempelajari ilmu falak. Akhir abad ke-19 banyak ulama-ulama kita belajar di tanah Arab dan Mesir, saat itulah mereka juga mempelajari ilmu falak. Ilmu tersebut akhirnya dikembangkan di tanah air dan diantara mereka banyak mengarang kitab-kitab falak yang hingga kini masih menjadi rujukan ilmu hisab di Indonesia. Muhammad Manshur bin Abdul Hamid adalah salah satu ulama falak terkemuka berasal dari Betawi yang terkenal dengan sebutan Guru Mashur Jembatan Lima yang mengarang Kitab Sullamun Nayyiranlah dan masih banyak dipelajari sampai sekarang.
Dengan ditemukannya rumus-rumus perhitungan posisi Bulan dan Matahari yang ada dalam kitab-kitab falak tersebut walaupun hasilnya masih ‘kasar’ dibandingkan hasil perhitungan modern, maka instrumen sederhana sebagai alat bantu rukyatul hilal juga sudah digunakan di masanya seperti pathok yang digunakan di Cakung, gawang lokasi untuk orientasi posisi hilal, rubuk mujayyab untuk mengukur ketinggian hilal, astrolabe untuk pengukuran waktu bahkan kompas untuk pengukuran azimuth.
Rukyatul hilal berpandu hisab merupakan salah satu usaha para pelaku rukyat untuk dapat lebih mudah melakukan lokalisir posisi hilal sehingga pengamat akan lebih mudah menemukan posisi hilal berada. bahkan dengan adanya hisab posisi Bulan dan Matahari ini pengamat dapat membuat prediksi apakah hilal mustahil, mungkin atau mudah dirukyat sehingga keberhasilan rukyat juga dapat diprediksi sebelumnya.
Rumus-rumus hisab juga semakin disempurnakan agar diperoleh hasil yang lebih mendekati kepada kondisi yang sebenarnya di lapangan. Artinya akurasi sebuah sistem hisab hanya dapat diuji dengan melakukan pengukuran di lapangan bukan dibandingkan dengan sistem hisab yang lain.
Kegiatan rukyat berpandukan hisab memungkinkan digunakannya alat bantu rukyat.
Theodolit adalah alat bantu rukyatul hilal berpandu pada hisab.
Modernisasi Rukyatul Hilal
Seiring perkembangan sains dan teknologi maka kegiatan rukyatul hilal juga mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya muncul alat bantu untuk melakukan rukyat sehingga kegiatan rukyat menjadi semakin berkualitas. Teknologi hisab juga berkembang pesat dengan munculnya algoritma atau sistem perhitungan posisi Bulan dan Matahari yang memiliki ketelitian tinggi sehingga hanya menghasilkan kesalahan yang sedikit saja dibandingkan dengan hasil rukyat.
Munculnya berbagai produk software hisab yang dapat menghitung posisi benda-benda langit secara akurat dengan tampilan animatif dan realistis menjadikan kegiatan rukyat menajadi lebih menarik dan dipermudah. Adanya modernisasi rukyatul hilal juga memungkinkan digunakannya berbagai peralatan yang sangat mebantu dalam pelaksanaan rukyatul hilal sehingga mempertinggi tingkat keberhasilan rukyat.
Salah sastunya adalah Teleskop Rukyat. Teleskop ini juga sebenarnya teleskop astronomis biasa. Yang membedakan adalah pada sistem dudukannya yang dilengkapi dengan motor penggerak yang diatur komputer sehingga teleskop dapat secara otomatis mengarah ke obyek benda langit yang diinginkan. Dengan bantuan “hand controller” kita bisa memilih obyek benda langit misalnya “moon” lalu tekan [GOTO] maka secara otomatis teleskop akan mengarah ke bulan dan mengikuti gerakan bulan walau saat itu tidak kelihatan. Teleskop GOTO biasanya juga dilengkapi dengan teknologi GPS (Global Positioning System) yang mampu berkomunikasi dengan beberapa satelit untuk mengkofirmasi data geografis posisi/lokasi pengamatan secara presisi tanpa perlu kita memasukkan data. Teleskop inilah seharusnya yang perlu dimiliki oleh instansi-instansi terutama BHR Wilayah maupun Pusat. Beberapa merek teleskop GOTO yang terkenal diantaranya : Meade, Celestron, Vixen, Konus, Orion, Televue dsb. Belakangan teknologi Charge-Coupled Device (CCD) menjadi alternatif pemindahan citra hasil penglihatan teleskop ke perangkat digital sehingga bisa disimpan dalam bentul video maupun image. caranya adalah dengan memasang kamera CCD langsung ke okuler (eyepice) yang disebut teknik afocal. Atau menggantikan okuler langsung dengan kamera CCD, sehingga pengamat cukup menyaksikannya dari layar TV atau komputer atau bahkan disiarkan secara langsung lewat stasiun TV nasional atau video streaming lewat internet sehingga masyarakat dapat turut menyaksikan.
Penggunaan teknologi maju terkini nampaknya dapat menjadi alternatif alat bantu rukyatul hilal sejauh tidak menyimpang dari syariat yang digariskan. Kelemahan alat bantu optik adalah ia tidak dapat menembus saat hilal tertutup awan atau terlalu rendah di atas ufuk. Sehingga pemanfaatan pesawat terbang, teleskop radio, infra merah, radar, laser, penginderaan satelit maupun penempatan radio sensor di bulan dapat menjadi alternatif alat bantu rukyat hilal. Lunar Laser Ranging (LLR) sebenarnya sudah digunakan sejak manusia pertama kali mendarat di bulan. Dengan LLR sinar laser dikirim ke permukaan bulan. Di permukaan bulan sudah terpasang serangkaian cermin yang memantulkan kembali sinar laser ini ke bumi dan diterima kembali oleh receiver. Sehingga dengan peralatan ini kecuali dapat dijejak posisi bulan secara presisi walaupun saat ijtimak maka juga dapat dihitung secara presisi jarak bumi-bulan.
Pemandu posisi bulan menggunakan Lunar Laser Ranging (LLR)
Manusia dengan kemampuan akal yang telah diberikan oleh Allah SWT berusaha setiap saat menciptakan alat-alat bantu bagi kemudahannya. Kini kembali kepada kita apakah kita akan memanfaatkan teknologi tersebut ataukah kita tetap bersikukuh dengan pendirian kita dan menikmati perbedaan-perbedaan yang terjadi.
Medio Juni 2015,